Jakarta - Bicara mengenai geopolitik, banyak sekali hal yang menjadi perhatian setiap kalangan terutama bagi pihak pengambil kebijakan luar negeri. Berbagai opsi dari yang rasional hingga tidak rasional seperti "penggunaan instrumen kekerasan" (misal: perang).
Penggunaan kekerasan terkadang menjadi pilihan paling rasional bagi negara maupun aktor lain untuk mencapai kepentingannya. Tujuan dasar dari penggunaan kekerasan adalah untuk memaksakan perubahan nilai-nilai serta agenda yang ada di dalam suatu negara. Berbagai jenis dan bentuk perang merupakan hasil inovasi dari peradaban manusia mengingat perang merupakan kebudayaan sekaligus institusi tertua sejak eksistensi manusia.
Perkembangan bentuk perang seperti jangkauan hingga teknologi seolah menjadi perlombaan yang dihasilkan dari interaksi aktor di dalamnya yang diklasifikasikan sebagai perang generasi pertama, generasi kedua, generasi ketiga, dan generasi keempat di mana dalam setiap generasinya terdapat perbedaan yang mencolok terutama dari segi teknologi dan taktik. Misalnya saja dalam perang generasi pertama dan kedua memiliki perbedaan yaitu generasi kedua sudah menggunakan senapan karabin dan senapan otomatis, sedangkan generasi pertama belum.
Demikian juga generasi kedua dan ketiga memiliki perbedaan dalam taktik, mobilitas, dan teknologi. Sedangkan generasi keempat menunjukkan perbedaan dengan generasi sebelumnya di mana perang adalah sentralistis dan hanya dimonopoli oleh negara. Pada generasi keempat perang kembali ke bentuk desentralisasi seperti pada masa kuno, namun dengan penggunaan teknologi yang lebih maju sebagaimana kita saksikan saat ini. Artinya, kini perang dapat dilakukan oleh aktor siapa pun melalui bantuan teknologi dalam berbagai rupa dari perang informasi hingga cyber war.
Melihat pola perkembangan tersebut, salah satu contoh penemuan konvensional yang secara tidak langsung berdampak pada perang adalah penemuan dinamit oleh seorang ilmuwan asal Norwegia, Alfred Nobel. Ia menyatakan niatnya menemukan bahan peledak hanya untuk membantu memudahkan kehidupan manusia, dalam hal ini konstruksi dan pertambangan. Tetapi faktanya penemuannya justru digunakan secara luas dalam penggunaan militer, bertentangan dengan tujuan awal ia menemukan benda tersebut.
Demikian juga dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Sebut saja konflik bersenjata di Suriah dan Ukraina. Keduanya merupakan konflik bersenjata kontemporer yang menarik untuk dijadikan contoh. Kedua konflik tersebut menggunakan berbagai bentuk taktik dan teknologi untuk menciptakan disinformasi, propaganda, hingga eskalasi konflik di ranah siber. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi dan taktik dalam berperang selalu didukung dengan perkembangan teknologi.
Tetapi akan muncul satu pertanyaan: bagaimana jika menggunakan teknologi tersebut untuk tujuan perdamaian? Tentu saja sebagian besar pihak mengamini bahwa pengembangan teknologi yang ditujukan untuk perang jauh lebih maju dan "selalu" memiliki berbagai "inovasi baru" jika dibandingkan dengan tujuan untuk perdamaian.
Belajar dari konflik bersenjata kontemporer di Libya, Suriah, dan Ukraina sudah saatnya kita memanfaatkan teknologi untuk bertujuan mengurangi konflik itu sendiri. Teknologi dapat menciptakan konflik, apalagi mengarah kepada konflik bersenjata. Hal ini bisa dimulai dari mana saja, seperti satu tulisan aspirasi di sosial media, video, dan sejenisnya yang akhirnya justru malah menimbulkan potensi gesekan sosial hingga eskalasi konflik bersenjata.
Pelajaran yang sangat berharga dari kejadian Arab Spring serta kekacauan lain yang diakibatkan oleh peran teknologi menjadi bahan kajian bagi berbagai kalangan. Dalam hal ini para pemangku otoritas di Indonesia juga mulai melirik penggunaan positive approach teknologi sebagai alat untuk menciptakan dan menjaga perdamaian. Umumnya seperti kita ketahui menjaga perdamaian selalu identik dengan blue helmet PBB bersenjata lengkap. Tetapi menjaga perdamaian dapat dilakukan dengan menggunakan perantara teknologi guna membangun narasi perdamaian itu sendiri.
Nyatanya, saat ini hal yang terjadi di Indonesia adalah imbauan dan ajakan kampanye anti-hoaks yang berjalan memanfaatkan media internet untuk menangkal penyebaran-penyebaran konten palsu hingga bersifat "hatred" yang mengarahkan pada potensi ancaman kekerasan dan konflik horizontal dengan menyebarkan informasi serta narasi-narasi positif sebagai lawan penyeimbangnya. Ide yang sudah diinisasi oleh sejumlah institusi tersebut ditujukan sebagai counter atas konten informasi yang mengarah kepada hasutan, kebencian, dan tindakan terorisme. Meski dalam aktualisasinya masih menghadapi tantangan, tetapi tentu tidak menutup peluang sinergi bagi institusi terkait yang sekiranya relevan dan menggandeng kalangan berpengaruh maupun hingga akar rumput di masyarakat lewat pemanfaatan penggunaan teknologi.
Walau bagaimanapun perkembangan teknologi memang tidak bisa dibendung. Segala potensi yang ada di dalamnya memberikan semacam kesempatan bagi para ahli strategi dan keamanan untuk kembali mengenali manfaat dan tujuan dari penggunaan teknologi tersebut. Tetapi ada satu hal yang mesti diingat, penggunaan teknologi dalam eskalasi konflik sudah sangat umum terjadi namun dalam upaya perdamaian tampaknya masih perlu perhatian lebih serius.
Oleh karena itu menjadi tugas bagi para perumus kebijakan dan pemangku otoritas di Indonesia agar semakin mengenali manfaat teknologi sebagai means untuk mencegah potensi gesekan eskalasi konflik. Sekaligus, menciptakan dan menjaga perdamaian yang diupayakan melalui keberadaan program sinergitas tersebut sebagai langkah kongkret inisiatif pemerintah dalam menghadapi problematika tantangan saat ini.
Sumber Berita:https://news.detik.com
Mantapppp
BalasHapusKEREN
BalasHapusde ngaden awak bise depang anake ngadanin
BalasHapusGood
BalasHapusTOOPPP
BalasHapusKalok bisa buat blog pakek inspirasi sendri
BalasHapusmantap lanjutkan
BalasHapusmungkin bisa diperjelas yaa untuk judulnya , mungkin dari segi teknologi yang dimaksud seperti apa..
BalasHapus